Awalnya aku ragu karena keputusan ini begitu baik kususun
sebelumnya. Aku akan kembali bersamanya Juni ini. Mengadakan acara di
Majalengka dengan keluarga dari Aceh yang siap mengantar. Bersama-sama
berangan-angan ikut suami pergi ke kebun arbei,
berbelanja bakal baju bersama mama dan mencari bunga kesayangannya dan
menikmati sepiring nasi tutug oncom bersama papa yang dibakar dan dibungkus
daun pisang di pematang kampung mertuaku. Ternyata keputusan itu diluar
kehendak kami. Allah telah memberikan rencana lain. Tidak ada antaran. Tidak
ada acara di Majalengka. Tidak ada jalan-jalan sama sekali. Hanya ada aku,
anakku dan suamiku. Akhirnya kembalilah aku kesini membawanya. Sulthan puteraku
yang masih berumur 5 bulan.
Hari
itu seperti terbangun dari mimpi. Sebelum shubuh bersiap-siap berangkat ke
bandara dengan terburu-buru. Mama yang tak berhenti menangis enggan melepaskan
cucu kesayangannya Faaris. Cium dan peluk erat berulang-ulang sampai direlakannya
kami pergi. Masih teringat dihati ini, mama begitu risau. Sampai aku terbangun
sudah berada di Jakarta menaiki bus bandara sebuah maskapai yang justru aku benci mengingatnya. Aku tidak
kebagian tempat duduk. Aku dengan gendongan anakku tergoyang-goyang nyaris
jatuh. Gara-gara yang lain sibuk melemaskan badan ke arahku. Aku pun memasang
teriakan meminta tolong tapi siapa yang mau tahu. Semua urus dirinya sendiri.
Bukan urusan orang-orang yang melihatku dengan bayi dalam keadaan berdiri. Aku
masih ingat suamiku terduduk di lantai dengan kaki terlipat sebelah karena cepat-cepat
menyambut bayiku yang hampir jatuh denganku. Benar-benar menjengkelkan
orang-orang yang memandangku. Apa mereka tidak tahu aku mendoakan mereka??
Astaghfirullah...
Tiba di
Jakarta jam 10, berangkat lagi jam 14.00, untung saja dalam 5 menit waktu
berangkat anakku sudah minta ganti diapers karena pup. Berarti sekarang bayiku
sudah mulai fresh kembali siap berangkat menuju bandara Sepinggan di Balik
Papan. Belum berakhir juga. Sesampainya di Balik Papan, kami harus menunggu
setengah jam lagi di pesawat untuk penerbangan selanjutnya menuju Tarakan.
Berarti ada sejam lagi perjalanan kami. Kalau ditotal ada 6 jam lebih bayiku
terbang. Jam 7 malam, kalau di Aceh masih jam 6 sore akhirnya kami sampai di
bandara Juwita. Turun tunggu bagasi, naik taksi cari penginapan. Mungkin karena
liburan, penginapan pada penuh semua. Sampai mau tidak mau kami mengambil kamar
single, ada televisi dan AC juga. Faaris sudah terbiasa dingin sejak lahir.
Alhamdulillah kami bisa istirahat, walaupun malamnya Faaris ribut rewel
menangis seiya-iyanya kelelahan di perjalanan. Sepertinya kontak bathin dengan
neneknya di Aceh. Suasananya berbeda. Lama juga baikannya. Begitu minum obat,
Faaris akhirnya dapat tidur pulas. Alhamdulillah semua dapat diatasi karena aku
sekarang sudah tidak sendiri lagi. Ada suami tercinta yang menemani kami dan
semoga aku terus seperti ini.
Keesokan
harinya kami sudah di pelabuhan. Tidak naik pesawat lagi. Karena bagasi kami
sangat banyak. Pesawat kecil hanya menerima 10kg/penumpang. Kalau kelebihan
bagaimana ya? Tidak sangguplah...
biayanya besar. Masih banyak yang harus kami persiapkan. Selama 3 jam
perjalanan kami menyeberangi lautan. Mulai dari melewati pulau-pulau, sampai
beberapa kali bertemu dengan speedboat kecil-kecil lainnya. Bahkan nelayan juga
banyak yang mencari ikan. Ada juga yang sibuk melihat rumput lautnya. Disini
kapal, perahu banyak sekali. Akhirnya, 3 jam berlalu. Faaris juga Alhamdulillah
sangat kooperatif. Menikmati sekali perjalanannya dengan bobok pulas. Sekarang
saatnya turun. Kami mengambil tempat pemberhentian di Sedadap. Wilayah kantor
dan rumahnya kami. Kalau teman-teman di Aceh, bolehlah bayangkan seperti kota
Jantho. Cuma bedanya disini daerah pesisir dekat laut. Ayo coba bayangkan jadi
diriku!! Abi, suamiku tangannya penuh dengan barang bawaan kami. Sedangkan aku
cukup diberi tanggung jawab memegang Faaris. Sambil ikut langkah suamiku dengan
gendongan pemberian Cutkak Tie, tangan kiri pegang erat-erat bayiku Faaris,
tangan kananku pegang erat-erat perahu selangkah-selangkah sampai kira-kira
dapat tangga. Hmm... jalan-jalan dipinggir kapal menyeberangi perahu yang
satunya lagi itu yang paling menakutkan. “Yang ini boleh dipijak?”, tanyaku
penasaran. “Jangan! Yang ini”, jawab orang yang sama sekali aku tidak melihat
mukanya dengan logat Papuanya. Mataku sibuk melihat langkah kemana harus
berjalan. Wajar tak melihatnya. Bagaimana? Mau nangis ya janganlah. Mau
menjerit ya jangan juga. Mau ketawa, ya itu juga jangan. Ya akhirnya jalan aja.
Yang lihat ramai. Tapi mana bisa dibantu, mau tidak mau harus sendiri. Paling
diingatkan saja, “Hati-hati bu... “, wkwkwk....
Hmm,,, baiklah saudara-saudara. Inilah Kalimantan kalau ikutkan jalan
laut. Resiko kami. Apalagi aku tidak mau bayiku dipegang orang lain. Ini pulau
orang!! Hilang anak bisa gila aku... Akhirnya mimpi buruk selesai. Sekarang
bisa duduk santai sambil blog sama si Faaris. Jangan terlalu dimasukkan dalam
hati cerita ini, kami baik-baik saja disini. Mama, Papa, keluarga dan
teman-teman mohon doanya terus... biar
suamiku segera dimutasikan dari sini...