Senin, 28 Mei 2012

Kembali juga akhirnya (Kisah kedua Perjalanan ke Nunukan)




    Awalnya aku ragu karena keputusan ini begitu baik kususun sebelumnya. Aku akan kembali bersamanya Juni ini. Mengadakan acara di Majalengka dengan keluarga dari Aceh yang siap mengantar. Bersama-sama berangan-angan ikut suami pergi ke kebun arbei,  berbelanja bakal baju bersama mama dan mencari bunga kesayangannya dan menikmati sepiring nasi tutug oncom bersama papa yang dibakar dan dibungkus daun pisang di pematang kampung mertuaku. Ternyata keputusan itu diluar kehendak kami. Allah telah memberikan rencana lain. Tidak ada antaran. Tidak ada acara di Majalengka. Tidak ada jalan-jalan sama sekali. Hanya ada aku, anakku dan suamiku. Akhirnya kembalilah aku kesini membawanya. Sulthan puteraku yang masih berumur 5 bulan.
    Hari itu seperti terbangun dari mimpi. Sebelum shubuh bersiap-siap berangkat ke bandara dengan terburu-buru. Mama yang tak berhenti menangis enggan melepaskan cucu kesayangannya Faaris. Cium dan peluk erat berulang-ulang sampai direlakannya kami pergi. Masih teringat dihati ini, mama begitu risau. Sampai aku terbangun sudah berada di Jakarta menaiki bus bandara sebuah maskapai yang  justru aku benci mengingatnya. Aku tidak kebagian tempat duduk. Aku dengan gendongan anakku tergoyang-goyang nyaris jatuh. Gara-gara yang lain sibuk melemaskan badan ke arahku. Aku pun memasang teriakan meminta tolong tapi siapa yang mau tahu. Semua urus dirinya sendiri. Bukan urusan orang-orang yang melihatku dengan bayi dalam keadaan berdiri. Aku masih ingat suamiku terduduk di lantai dengan kaki terlipat sebelah karena cepat-cepat menyambut bayiku yang hampir jatuh denganku. Benar-benar menjengkelkan orang-orang yang memandangku. Apa mereka tidak tahu aku mendoakan mereka?? Astaghfirullah...
      Tiba di Jakarta jam 10, berangkat lagi jam 14.00, untung saja dalam 5 menit waktu berangkat anakku sudah minta ganti diapers karena pup. Berarti sekarang bayiku sudah mulai fresh kembali siap berangkat menuju bandara Sepinggan di Balik Papan. Belum berakhir juga. Sesampainya di Balik Papan, kami harus menunggu setengah jam lagi di pesawat untuk penerbangan selanjutnya menuju Tarakan. Berarti ada sejam lagi perjalanan kami. Kalau ditotal ada 6 jam lebih bayiku terbang. Jam 7 malam, kalau di Aceh masih jam 6 sore akhirnya kami sampai di bandara Juwita. Turun tunggu bagasi, naik taksi cari penginapan. Mungkin karena liburan, penginapan pada penuh semua. Sampai mau tidak mau kami mengambil kamar single, ada televisi dan AC juga. Faaris sudah terbiasa dingin sejak lahir. Alhamdulillah kami bisa istirahat, walaupun malamnya Faaris ribut rewel menangis seiya-iyanya kelelahan di perjalanan. Sepertinya kontak bathin dengan neneknya di Aceh. Suasananya berbeda. Lama juga baikannya. Begitu minum obat, Faaris akhirnya dapat tidur pulas. Alhamdulillah semua dapat diatasi karena aku sekarang sudah tidak sendiri lagi. Ada suami tercinta yang menemani kami dan semoga aku terus seperti ini.
      Keesokan harinya kami sudah di pelabuhan. Tidak naik pesawat lagi. Karena bagasi kami sangat banyak. Pesawat kecil hanya menerima 10kg/penumpang. Kalau kelebihan bagaimana ya?  Tidak sangguplah... biayanya besar. Masih banyak yang harus kami persiapkan. Selama 3 jam perjalanan kami menyeberangi lautan. Mulai dari melewati pulau-pulau, sampai beberapa kali bertemu dengan speedboat kecil-kecil lainnya. Bahkan nelayan juga banyak yang mencari ikan. Ada juga yang sibuk melihat rumput lautnya. Disini kapal, perahu banyak sekali. Akhirnya, 3 jam berlalu. Faaris juga Alhamdulillah sangat kooperatif. Menikmati sekali perjalanannya dengan bobok pulas. Sekarang saatnya turun. Kami mengambil tempat pemberhentian di Sedadap. Wilayah kantor dan rumahnya kami. Kalau teman-teman di Aceh, bolehlah bayangkan seperti kota Jantho. Cuma bedanya disini daerah pesisir dekat laut. Ayo coba bayangkan jadi diriku!! Abi, suamiku tangannya penuh dengan barang bawaan kami. Sedangkan aku cukup diberi tanggung jawab memegang Faaris. Sambil ikut langkah suamiku dengan gendongan pemberian Cutkak Tie, tangan kiri pegang erat-erat bayiku Faaris, tangan kananku pegang erat-erat perahu selangkah-selangkah sampai kira-kira dapat tangga. Hmm... jalan-jalan dipinggir kapal menyeberangi perahu yang satunya lagi itu yang paling menakutkan. “Yang ini boleh dipijak?”, tanyaku penasaran. “Jangan! Yang ini”, jawab orang yang sama sekali aku tidak melihat mukanya dengan logat Papuanya. Mataku sibuk melihat langkah kemana harus berjalan. Wajar tak melihatnya. Bagaimana? Mau nangis ya janganlah. Mau menjerit ya jangan juga. Mau ketawa, ya itu juga jangan. Ya akhirnya jalan aja. Yang lihat ramai. Tapi mana bisa dibantu, mau tidak mau harus sendiri. Paling diingatkan saja, “Hati-hati bu... “, wkwkwk....  Hmm,,, baiklah saudara-saudara. Inilah Kalimantan kalau ikutkan jalan laut. Resiko kami. Apalagi aku tidak mau bayiku dipegang orang lain. Ini pulau orang!! Hilang anak bisa gila aku... Akhirnya mimpi buruk selesai. Sekarang bisa duduk santai sambil blog sama si Faaris. Jangan terlalu dimasukkan dalam hati cerita ini, kami baik-baik saja disini. Mama, Papa, keluarga dan teman-teman mohon doanya terus...  biar suamiku segera dimutasikan dari sini... 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar